Jatinangor dan Prasarana yang (Seharusnya) Memadai

Jatinangor merupakan sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Sumedang yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Berdirinya beberapa perguruan tinggi, seperti Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN), Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) membuat Jatinangor disebut sebagai kawasan pendidikan. Otomatis, penghuninya kini menjadi beragam, bercampur dengan para pendatang yang hadir dari berbagai daerah, termasuk dari luar negeri.

Dengan banyaknya perguruan tinggi, maka banyak pendatang, dalam hal ini mahasiswa. Dengan banyaknya mahasiswa, maka tak heran jika fasilitas terus tumbuh seiring berjalannya waktu. Tempat tinggal tentu banyak, mulai dari rumah warga yang disulap menjadi kos-kosan sederhana hingga apartemen yang berdiri tegap menantang. Minimarket dan supermarket tersedia untuk memenuhi hasrat belanja kebutuhan sehari-hari atau bulanan. Rumah makan dari warteg hingga kafe-kafe tempat nongkrong asyik juga banyak. Jatinangor kini bak sebuah kota, bukan sekadar kecamatan kecil.

Namun ada sedikit hal yang tak terpenuhi dan semestinya tak luput dari perhatian. Apakah itu?

1. Trotoar

Ketersediaan trotoar yang layak dan nyaman bagi pejalan kaki. Terasa sepele, tapi bagi saya pribadi hal ini merupakan sebuah masalah yang cukup menganggu karena saya lebih sering berjalan kaki di Jatinangor. Sebuah pembangunan haruslah memerhatikan prasarana sebagai penunjang. Trotoar dan hak pejalan kaki ini sudah diatur dalam Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) No 22 Tahun 2009. Berikut petikannya: 

- Pasal 45 ayat (1)
Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. trotoar;
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
d. Halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.

- Pasal 131 ayat (1) 
Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.

Jalan umum di Jatinangor merupakan salah satu akses penghubung Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Bayangkan seperti apa padatnya lalu lintas terutama banyaknya kendaraan-kendaraan besar seperti truk dan bus yang melintas. Kurang layaknya trotoar yang ada membuat pejalan kaki harus rela berjalan di aspal, bahkan tak jarang ditemukan trotoar yang sudah rusak, penuh tumpukan sampah, dan beralih fungsi menjadi tempat parkir. Belum lagi di malam hari trotoar dijadikan tempat untuk berdagang.

Trotoar sebagian digunakan sebagai tempat parkir mobil (dok. pribadi)

Sampah berserakan di trotoar (dok. pribadi)

Solusinya ya sederhana yaitu memperbaiki trotoar menjadi layak bagi pejalan kaki. Beberapa ruas jalan di Kota Bandung sudah memiliki trotoar yang nyaman. Meski tak harus seperti di Bandung yang disertai kursi, yang penting trotoar di Jatinangor berguna sesuai fungsi.

2. Tempat Parkir
Menyoal tempat parkir, ini juga menjadi kendala di kawasan Jatinangor. Banyak ruko-ruko, tempat makan, atau kos-kosan yang tidak menyediakan lahan parkir luas. Hal ini menyebabkan kendaraan-kendaraan parkir di tempat yang tidak semestinya, seperti di trotoar itu tadi. Andai ada lahan yang luas, seharusnya bisa digunakan untuk membangun lapangan parkir terpadu yang inovatif.

Di tempat parkir terpadu itu juga bisa dilengkapi dengan foodcourt ataupun galeri seni budaya setempat. Saya pernah mewawancarai Hendri Sanjaya, seorang pengrajin patung kayu. Ia bercerita, kampungnya di Desa Cibeusi Jatinangor dulu merupakan kampung yang memproduksi patung atau kerajinan berbahan dasar kayu. Namun karena prospek pendapatannya tidak jelas, sekarang sudah sedikit yang masih aktif menjadi pengrajin. Jika saja pemerintah mau memfasilitasi, bukan tidak mungkin hal ini akan mengangkat kembali kerajinan lokal dan bisa otomatis meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu upayanya yaitu membuat galeri di tempat orang ramai, dan tempat parkir terpadu bisa menjadi tempat alternatif.

3. Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
Usut punya usut, jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jatinangor ada dua, di depan IPDN dan di depan Gerbang Lama Unpad. Hanya saja saat ini JPO tinggal tersisa satu, yang terletak di depan IPDN, itu pun kondisinya sudah mengkhawatirkan. Sayangnya zebra cross juga hanya sedikit. Ada baiknya pemerintah mempertimbangkan untuk membangun JPO yang layak, karena banyak sekali masyarakat yang menyeberang sembarangan dan bisa membahayakan. Membuat JPO yang artsy sepertinya bakal menarik. Kita bisa mengadaptasi dari luar negeri. Di Bogor, JPO Terminal Baranangsiang lebih meriah dengan lampu (yang menyala saat malam hari) dan musik dari pengeras suara, sementara JPO bawah tanah depan Kebun Raya Bogor difungsikan juga sebagai galeri foto dan lukisan. Tentunya dilengkapi juga dengan kamera pengawas untuk keamanan.

Dengan memperbaiki tiga hal di atas saja, rasanya Jatinangor akan terasa lebih nyaman. Banyaknya mahasiswa di Jatinangor tentu menjadi keunggulan karena otomatis akan banyak juga otak kreatif yang sepertinya akan mau diajak membantu mempercantik lingkungan Jatinangor ini. Sebab para mahasiswa sudah sepatutnya bisa turut mengabdi, memajukan lingkungan tempatnya menimba ilmu.

Menjadi Mahasiswa Jurnal Unpad dan Citra yang Mengikutinya

Foto: Adam Prireza

Semester genap sudah mau berakhir, tidak terasa titel mahasiswa tua tambah membebani. Bagi saya dan teman-teman tua saya, status tersebut berarti sudah masuk pada fase hah-bakal-lanjut-jadi-jurnalis-atau-enggak-yah?, akibat sudah lebih banyak tahu seperti apa dunia jurnalis (apalagi untuk yang sudah praktik kerja/job training) dibanding beberapa tahun lalu saat masih “hijau” di alam perkuliahan yang fana ini.
Berganti tahun, seiring kami yang menua, muncullah bibit-bibit baru di Jurnal Fikom Unpad. Bibit-bibit baru ini tampaknya sudah lebih siap. Sebab program studi Jurnalistik memang sudah dipilih sejak memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, melalui SBMPTN ataupun SNMPTN. Tidak main-main, peminat prodi Jurnal mencapai 4.000-an orang, padahal kursi yang diperebutkan tidak lebih untuk 100 orang.
Saya rasa mayoritas mahasiswa baru ini memilih Prodi Jurnal karena ingin jadi jurnalis televisi. Ya, gak? Bener, kan? Ya, bisa dipahami melihat era audiovisual kini lebih digandrungi kaum muda. Tak ada yang salah karena zaman kan terus bertransformasi, di mana mobil bisa jadi robot, cabe bisa boncengan naik motor, cappucino bisa dicampur cincau, dan lain sebagainya.
Bagaimana pun saya sendiri (ciyeee… sendiri) kagum dengan banyaknya peminat Prodi Jurnal. Namun entah kamu, para Jurnal 2015, tahu atau tidak bahwa persaingan untuk menjadi jurnalis bukan hanya antar lulusan Prodi Jurnal, tapi juga melibatkan lulusan prodi lain seperti ekonomi, ilmu sosial politik, bahkan pertanian. Beberapa waktu lalu satu media besar nasional secara terang-terangan kok dalam publikasinya mengutamakan merekrut lulusan ekonomi pembangunan dan teknik, bukan mengutamakan lulusan jurnalistik.
Mengapa demikian? Padahal kalau boleh sombong, selain teknik-teknik, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad juga selalu dicekoki etika jurnalistik, menjaga idealisme. Jadi, mahasiswa Prodi Jurnal tahu seperti apa jurnalis yang bekerja dengan benar. Berbicara kualitas sebagai jurnalis yang berkompeten, lulusan Jurnal Fikom Unpad harusnya mampu diandalkan. Yosep “Stanley” Adi Prasetyo, anggota Dewan Pers, pernah berujar bahwa Jurnalistik Fikom Unpad layak menjadi penyelenggara uji kompetensi jurnalis.
Namun faktanya, paham ilmu jurnalistik saja tentu belum cukup. Butuh pengetahuan yang luas. Kamu harus tahu ilmu pengetahuan lain. Jurnalis kan harus bisa meliput apa saja. Bisa saja oleh redaktur disuruh meliput dunia perbankan, dunia olahraga, atau dunia politik internasional (asal tidak dunia lain, kecuali kamu jadi jurnalis majalah Misteri). Nah, mungkin media nasional tadi memang sedang membutuhkan jurnalis yang paham dengan ekonomi pembangunan dan teknik, jadi wajar saja. Sebab, ya itu tadi, ilmu jurnalistik saja tidak cukup.
Stereotip Mahasiswa Jurnal
Kehidupan mahasiswa Jurnal Fikom Unpad keras? Enggak juga, hidupnya masih sama dengan yang dilakukan mahasiswa lain. Masih bisa berorganisasi, nongkrong di Gemboel*, nonton drama Korea "Reply 1988", atau main Candy Crush. Akan tetapi hal-hal tersebut akan terasa menjadi dosa dilakukan jika mengingat tugas-tugas yang ada belum rampung dikerjakan.
*Tempat makan di Ciseke Besar, identik dengan tempat nongkrong mahasiswa Jurnal.
Tiap mahasiswa prodi lain boleh saja mengklaim bahwa tugas mereka banyak, tapi mahasiswa Jurnal Fikom Unpad harus mengklaim bahwa tugas yang diberikan dosen bukan sekadar banyak tapi banyak dan konsisten. Kalian bisa cari tahu atau merasakan sendiri mengapa tugas bernama ‘apresiasi buku’ tiap pekan bisa membuat lupa tidur dan lupa mandi sehingga penampilan kami di kampus terlalu apa adanya dengan muka tampak tak bergairah.
Sepertinya atas dasar itu pula berkembang citra bahwa mahasiswa Jurnal memiliki penampilan lusuh, bahkan mungkin terburuk di antara mahasiswa prodi lain di Fikom Unpad. Meskipun tentu saja masih banyak mahasiswa Jurnal yang peduli akan penampilan, terutama perempuan.
Mengeluh mah wajar, namanya juga manusia, apalagi anak muda yang masih pengin banyak main. Namun bagaimana pun, tugas-tugas itu bisa jadi bekal buat para mahasiswa dan tak jarang kita bisa dapat hal-hal menarik.
Mungkin kamu baru tahu bahwa Bondan Winarno (ya, komentator makanan di televisi itu) ternyata pernah menjadi jurnalis investigasi. Jangan bayangkan dia menginvestigasi makanan seperti mie berformalin, bakso dari daging tikus, kerupuk dari kulit bekas sunat, atau semacamnya. Lebih dari itu, ia menginvestigasi kasus penambangan sumber daya alam Indonesia. Jadi Pak Bondan bukan cuma bisa bilang maknyus ke semua makanan yang dia makan, jauh sebelum itu dia merupakan seorang investigator yang, errr… maknyus!
Stereotip lain yang sering didengung-dengungkan adalah, mahasiswa Jurnal lulusnya lama. Nah, ini enggak salah. Sepertinya waktu empat tahun untuk kuliah memang belum cukup bagi mahasiswa Jurnal, tapi itupun bukan tanpa sebab. Salah satu yang membedakan Prodi Jurnal dengan prodi lain adalah dalam hal praktik kerja. Bila di prodi lain mahasiswa diwajibkan melakukannya satu kali, Prodi Jurnal dua kali, di media cetak dan media elektronik.
Selama beberapa tahun, dua praktik kerja ini dilakukan pada semester 7, 8, dan seterusnya. Sehingga untuk lulus 3,5 – 4 tahun dirasa mustahil bagi mahasiswa Jurnal. Namun keresahan ini akhirnya coba diatasi. Mulai angkatan 2012, praktik kerja bisa dilakukan di semester 6. Dengan begitu kemungkinan lulus cepat terbuka lebar. Kita tunggu saja, mungkinkah bakal ada yang lulus dalam tempo 3,5 tahun? Hmmm…
Jadi, silakan nikmati tahun-tahun menjadi mahasiswa Jurnal, mau tak mau. Toh saat lulus nanti, kamu masih bisa jadi apa saja. Jadi komika seperti Soleh Solihun? Sutradara seperti Andi Bachtiar Yusuf? Atau penulis naskah film seperti Salman Aristo? Mereka adalah alumni Jurnal Fikom Unpad. Ya, tapi syukur-syukur jika kamu masih tetap ingin jadi jurnalis.
Tulisan ini murni pendapat pribadi, bukan semata untuk memetuahi mahasiswa baru, bukan sok tahu karena lebih senior. Secara akademik, nilai saya juga pas-pasan, tidak (atau belum) memuaskan. Saya hanya ingin berbagi dan barangkali bisa mengangkat motivasi kamu yang saat ini masih canggung memasuki zona baru. Mudah-mudahan bisa diterima.
Kalau kamu masuk ke ruang kantor Prodi Jurnal Fikom Unpad dan terprovokasi saat membaca tulisan “We are journalist, dare you join?”, sila katakan dengan lantang, “Yes, I dare!”
Chakep!

(Pernah dimuat di sibiruonline juga sih)

Andaikan Aku Punya Mesin Waktu


Libur panjang biasanya identik dengan jalan-jalan. Akan tetapi gue sering kali memilih menghabiskan waktu liburan dengan menonton film, mengingat kondisi jalanan dan tempat hiburan akan sangat ramai. Terkadang kalau libur tapi belum siap film baru untuk ditonton ya paling ulangi lagi tontonan lama.
Ada tontonan yang beberapa kali gue tonton, yaitu Proposal Daisakusen. Sebenarnya ini bukan film sih, tapi drama Jepang yang dirilis tahun 2007. Sudah cukup lama. Kenapa dorama yang memiliki 20 episode ini sering gue tonton, karena konsep ceritanya bisa dibilang sangat unik. Ken, sang pemeran utama pria diceritakan kembali ke masa lalu melalui foto-foto dalam sebuah slide yang ditayangkan di pesta pernikahan Rei, perempuan yang disukainya sejak zaman SD.
Gue juga jadi suka membayangkan untuk kembali ke masa lalu. Ke momen-momen di mana seharusnya gue menyatakan cinta pada seorang gadis, hahaha. Agak geli. Omong-omong, beberapa waktu lalu gue dapat tautan Youtube sebuah lagu berjudul Mesin Waktu dari grup musik Savari. Kalau mau tahu, kamu bisa kamu buka tautan ini.

(Gambar: instagram.com/savari.id)

Ya, inti lagunya mirip dengan kisah dorama itu, di mana seseorang memiliki keinginan kembali ke masa lalu untuk meraih cintanya yang dulu. Ia menyesal karena tidak punya nyali mengungkapkan cintanya. Lalu ia pun berandai-andai mempunyai mesin waktu. Duh, pasti banyak banget nih yang punya kisah serupa. Hahaha.
Musiknya asik banget sih, modern pop gitu. Gue setelah mendengar lagu ini otomatis berdendang sendiri sepanjang perjalanan Jatinangor-Bandung-Lembang. Musik dan liriknya tetiba muncul di pikiran, meski masih sedikit ngaco karena waktu itu masih belum hapal. Hehehe.
Namun rasanya tak cukup hanya membahas lagu tersebut, karena menariknya, ternyata grup musik Savari ini memiliki konsep yang unik. Dalam beberapa media promonya, Savari hanya menonjolkan tiga karakter binatang berupa animasi. Gue pikir itu hanyalah konsep dari video klip yang akan diluncurkan nantinya. Eh ternyata konsep grup musik Savari memang menampilkan tiga karakter itu, yang rupanya memiliki nama Baba, Dinggo, dan Cimpala.
Karakter Baba digambarkan sebagai seekor babi yang meskipun besar dan gahar, tapi ia pemalu dan polos. Kecintaannya terhadap lingkungan di semesta ini membuat ia berusaha untuk berbuat ramah, rajin menolong, dan setia kawan. Sementara itu, Dinggo sebagai seekor anjing memiliki jiwa petualang yang besar, tak heran sosoknya digambarkan pemberani, sok jagoan dan temperamental. Akan tetapi ia tetap makhluk yang baik. Lain lagi dengan Cimpala, monyet yang terkenal licik, usil, dan cerdik. Meski begitu bukan berarti ia jahat. Uniknya ia senang dengan segala hal berbau sains.
Melihat mereka, otomatis ingatan tertuju pada grup musik asal Inggris, Gorillaz, yang juga menerapkan konsep virtual band pada 1998 dengan empat karakter fantasi. Gorillaz bertahan cukup lama di blantika musik internasional dan menyabet beragam penghargaan. Bahkan mereka berhasil mendapat titel Most Successful Virtual Band dari Guinness World Record.
Langkah yang dilakukan Savari, dan label MaharkaryaInc, untuk membuat konsep seperti ini merupakan langkah yang terbilang berani. Selain karena mereka menjadi grup musik virtual pertama di Indonesia, kemungkinan besar orang-orang akan membandingkan Savari dengan Gorillaz. Namun rasanya Savari tidak perlu khawatir untuk terus maju dan membuktikan eksistensi mereka melalui karya-karya yang ciamik. Hal ini sudah dibuka dengan single Mesin Waktu.
Saya akan menunggu video klip mereka seperti apa dan bagaimana jika mereka tampil di layar kaca atau di acara penghargaan sewaktu-waktu, hehehe. Sudah saatnya Savari membawa mesin waktu mereka ke masa depan.