Menjadi Mahasiswa Jurnal Unpad dan Citra yang Mengikutinya

Foto: Adam Prireza

Semester genap sudah mau berakhir, tidak terasa titel mahasiswa tua tambah membebani. Bagi saya dan teman-teman tua saya, status tersebut berarti sudah masuk pada fase hah-bakal-lanjut-jadi-jurnalis-atau-enggak-yah?, akibat sudah lebih banyak tahu seperti apa dunia jurnalis (apalagi untuk yang sudah praktik kerja/job training) dibanding beberapa tahun lalu saat masih “hijau” di alam perkuliahan yang fana ini.
Berganti tahun, seiring kami yang menua, muncullah bibit-bibit baru di Jurnal Fikom Unpad. Bibit-bibit baru ini tampaknya sudah lebih siap. Sebab program studi Jurnalistik memang sudah dipilih sejak memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, melalui SBMPTN ataupun SNMPTN. Tidak main-main, peminat prodi Jurnal mencapai 4.000-an orang, padahal kursi yang diperebutkan tidak lebih untuk 100 orang.
Saya rasa mayoritas mahasiswa baru ini memilih Prodi Jurnal karena ingin jadi jurnalis televisi. Ya, gak? Bener, kan? Ya, bisa dipahami melihat era audiovisual kini lebih digandrungi kaum muda. Tak ada yang salah karena zaman kan terus bertransformasi, di mana mobil bisa jadi robot, cabe bisa boncengan naik motor, cappucino bisa dicampur cincau, dan lain sebagainya.
Bagaimana pun saya sendiri (ciyeee… sendiri) kagum dengan banyaknya peminat Prodi Jurnal. Namun entah kamu, para Jurnal 2015, tahu atau tidak bahwa persaingan untuk menjadi jurnalis bukan hanya antar lulusan Prodi Jurnal, tapi juga melibatkan lulusan prodi lain seperti ekonomi, ilmu sosial politik, bahkan pertanian. Beberapa waktu lalu satu media besar nasional secara terang-terangan kok dalam publikasinya mengutamakan merekrut lulusan ekonomi pembangunan dan teknik, bukan mengutamakan lulusan jurnalistik.
Mengapa demikian? Padahal kalau boleh sombong, selain teknik-teknik, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad juga selalu dicekoki etika jurnalistik, menjaga idealisme. Jadi, mahasiswa Prodi Jurnal tahu seperti apa jurnalis yang bekerja dengan benar. Berbicara kualitas sebagai jurnalis yang berkompeten, lulusan Jurnal Fikom Unpad harusnya mampu diandalkan. Yosep “Stanley” Adi Prasetyo, anggota Dewan Pers, pernah berujar bahwa Jurnalistik Fikom Unpad layak menjadi penyelenggara uji kompetensi jurnalis.
Namun faktanya, paham ilmu jurnalistik saja tentu belum cukup. Butuh pengetahuan yang luas. Kamu harus tahu ilmu pengetahuan lain. Jurnalis kan harus bisa meliput apa saja. Bisa saja oleh redaktur disuruh meliput dunia perbankan, dunia olahraga, atau dunia politik internasional (asal tidak dunia lain, kecuali kamu jadi jurnalis majalah Misteri). Nah, mungkin media nasional tadi memang sedang membutuhkan jurnalis yang paham dengan ekonomi pembangunan dan teknik, jadi wajar saja. Sebab, ya itu tadi, ilmu jurnalistik saja tidak cukup.
Stereotip Mahasiswa Jurnal
Kehidupan mahasiswa Jurnal Fikom Unpad keras? Enggak juga, hidupnya masih sama dengan yang dilakukan mahasiswa lain. Masih bisa berorganisasi, nongkrong di Gemboel*, nonton drama Korea "Reply 1988", atau main Candy Crush. Akan tetapi hal-hal tersebut akan terasa menjadi dosa dilakukan jika mengingat tugas-tugas yang ada belum rampung dikerjakan.
*Tempat makan di Ciseke Besar, identik dengan tempat nongkrong mahasiswa Jurnal.
Tiap mahasiswa prodi lain boleh saja mengklaim bahwa tugas mereka banyak, tapi mahasiswa Jurnal Fikom Unpad harus mengklaim bahwa tugas yang diberikan dosen bukan sekadar banyak tapi banyak dan konsisten. Kalian bisa cari tahu atau merasakan sendiri mengapa tugas bernama ‘apresiasi buku’ tiap pekan bisa membuat lupa tidur dan lupa mandi sehingga penampilan kami di kampus terlalu apa adanya dengan muka tampak tak bergairah.
Sepertinya atas dasar itu pula berkembang citra bahwa mahasiswa Jurnal memiliki penampilan lusuh, bahkan mungkin terburuk di antara mahasiswa prodi lain di Fikom Unpad. Meskipun tentu saja masih banyak mahasiswa Jurnal yang peduli akan penampilan, terutama perempuan.
Mengeluh mah wajar, namanya juga manusia, apalagi anak muda yang masih pengin banyak main. Namun bagaimana pun, tugas-tugas itu bisa jadi bekal buat para mahasiswa dan tak jarang kita bisa dapat hal-hal menarik.
Mungkin kamu baru tahu bahwa Bondan Winarno (ya, komentator makanan di televisi itu) ternyata pernah menjadi jurnalis investigasi. Jangan bayangkan dia menginvestigasi makanan seperti mie berformalin, bakso dari daging tikus, kerupuk dari kulit bekas sunat, atau semacamnya. Lebih dari itu, ia menginvestigasi kasus penambangan sumber daya alam Indonesia. Jadi Pak Bondan bukan cuma bisa bilang maknyus ke semua makanan yang dia makan, jauh sebelum itu dia merupakan seorang investigator yang, errr… maknyus!
Stereotip lain yang sering didengung-dengungkan adalah, mahasiswa Jurnal lulusnya lama. Nah, ini enggak salah. Sepertinya waktu empat tahun untuk kuliah memang belum cukup bagi mahasiswa Jurnal, tapi itupun bukan tanpa sebab. Salah satu yang membedakan Prodi Jurnal dengan prodi lain adalah dalam hal praktik kerja. Bila di prodi lain mahasiswa diwajibkan melakukannya satu kali, Prodi Jurnal dua kali, di media cetak dan media elektronik.
Selama beberapa tahun, dua praktik kerja ini dilakukan pada semester 7, 8, dan seterusnya. Sehingga untuk lulus 3,5 – 4 tahun dirasa mustahil bagi mahasiswa Jurnal. Namun keresahan ini akhirnya coba diatasi. Mulai angkatan 2012, praktik kerja bisa dilakukan di semester 6. Dengan begitu kemungkinan lulus cepat terbuka lebar. Kita tunggu saja, mungkinkah bakal ada yang lulus dalam tempo 3,5 tahun? Hmmm…
Jadi, silakan nikmati tahun-tahun menjadi mahasiswa Jurnal, mau tak mau. Toh saat lulus nanti, kamu masih bisa jadi apa saja. Jadi komika seperti Soleh Solihun? Sutradara seperti Andi Bachtiar Yusuf? Atau penulis naskah film seperti Salman Aristo? Mereka adalah alumni Jurnal Fikom Unpad. Ya, tapi syukur-syukur jika kamu masih tetap ingin jadi jurnalis.
Tulisan ini murni pendapat pribadi, bukan semata untuk memetuahi mahasiswa baru, bukan sok tahu karena lebih senior. Secara akademik, nilai saya juga pas-pasan, tidak (atau belum) memuaskan. Saya hanya ingin berbagi dan barangkali bisa mengangkat motivasi kamu yang saat ini masih canggung memasuki zona baru. Mudah-mudahan bisa diterima.
Kalau kamu masuk ke ruang kantor Prodi Jurnal Fikom Unpad dan terprovokasi saat membaca tulisan “We are journalist, dare you join?”, sila katakan dengan lantang, “Yes, I dare!”
Chakep!

(Pernah dimuat di sibiruonline juga sih)

2 komentar:

Abary mengatakan...

Wah bagus tulisannya. Semoga tetap produktif ya

Dari yang gagal jadi jurnal 2015

nadhillahhehe mengatakan...

Keren mba artikelnya! Semangat terus mba, ditunggu postingan-postingan selanjutnya